10 Januari 2008

Dialog Jiwa Di Angkot

..Angkot 07, trayek Kampus Unhas-Pettarani, ditemani oleh As Time Goes By-nya Christopher Peacock..

Entah mengapa akhir-akhir ini kehidupan saya terasa begitu sulit. Segalanya terasa begitu sulit, bahkan bernafas sekalipun. Segalanya terasa begitu menghimpit, membuat satu tarikan nafas saja begitu sulit dilakukan. Akumulasi mukus yang lagi bersarang di bronkus saya membuat segala kiasan tadi begitu nyata, sesak.

Saya memang begitu bodoh. Selama ini saya belum menghargai diri saya sendiri. Salah, bukan kata ”belum menghargai” yang tepat, tapi ”tidak pernah memberikan penghargaan yang layak”. Kenapa? Karena saya selalu membiarkan diri saya exhausted dalam melakukan sesuatu. Saya tidak pernah bertanya kepada tubuh saya, apa sih yang mereka -banyak anggota dalam satu tubuh kan?- inginkan. Saya tidak pernah bertanya pada jiwa saya, apakah mereka ingin istirahat. Saya tidak pernah membiarkan pikiran saya untuk berjalan menyusuri kreatifitasnya. Saya selalu memaksa mereka bertiga untuk terus mengejar dan memuaskan keinginan saya, yang saya tahu dari awal kalo hal itu akan berakibat jelek. Dan yang lebih bodohnya lagi, saya membiarkan jiwa saya terus berduka untuk sesuatu yang tolol!!!!

Kemarin saya nonton Oprah. Temanya tentang The Secret’s. Buku dan DVD yang mengubah hidup (beberapa) orang di Amerika sono. Satu hal yang saya suka, yaitu ketika salah satu penontonnya membuat janji kalo akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kehidupannya. Saya berpikir kalo hal inilah yang salah dalam hidup saya sampai saya exhausted begini.

Kita gak bisa menerima hal yang baru kalo kita gak mau melepaskan apa yang ada di genggaman kita. Tuhan gak bakalan ngasih kalo kita terlalu serakah mau megang semuanya. Begitu dengan saya. Banyak hal bodoh dan useless yang saya pegang erat tanpa pernah menyadari bahwa tangan saya cuma dua.

Aduh, kenapa pikiran saya jadi gak terarah begini ya?? Bicaranya jadi gak terstruktur. Gak ada intinya.

Saya juga lupa yang namanya bersyukur. Padahal, statement itu yang kadang menjadi nasihat saya buat teman-teman saya, menjadikan saya seperti The Guru. Saya sadari bahwa hidup saya yang lalu itu bukan Esha yang dulu. Esha yang terkontaminasi berhala duniawi. Esha wanna be, wanna be like him, wanna be like her. Esha yang imitasi. Dan hal itulah yang membuat sakit hati orang tua saya. Gimana nggak, gak ada hujan gak ada petir, saya minta dibeliin mobil karena ngiri sama teman yang naik mobil pribadi. Kemana Esha yang dulu???

Saya pengen memberikan kehidupan yang lebih baik untuk hidup saya. Hidup saya terlalu singkat untuk saya habiskan dalan pengharapan yang sia-sia. Terlalu indah untuk saya habiskan dalam mimpi yang omong kosong. Terlalu berharga untuk saya biarkan orang lain menginjak-injak perasaan saya. Tidak, saya tidak akan melawan. Saya akan berjalan terus menurut hati saya, biarkan mereka menggonggong.
Aduh, ngaco!!!!!!

1 komentar:

ishtar mengatakan...

gud lak wit the new you..tapi kadang susah buat kita hidup secara extremme buat diri kita sendiri,lha wong kita nih makhluk sosial ik jeng..